Sejarah Kerdirinya Kerajaan Kutai
Keberadaan
Kerajaan Kutai Martapura sebenarnya kurang diketahui pada zaman dulu, ini
dikarenakan sedikitnya informasi dari dalam maupun luar negeri yang bisa
didapatkan, seperti prasasti atau berita dari luar negeri. Prasasti yang
menunjukkan adanya Kerajaan Kutai Martapura yang bisa ditemukan saat ini adalah
7 buah prasasti (batu prasasti yang biasa disebut Yupa) di daerah Kalimantan
Timur. Ketujuh prasasti itu menggunakan huruf pallawa dengan bahasa sansekerta
kuno yang menunjukkan pengaruh India yang sangat kental pada kerajaan ini.
Letak Kutai |
Kerajaan
Kutai Martapura merupakan kerajaan tertua di Nusantara dan kerajaan hindu
pertama di Indonesia. Sebenarnya nama Kutai adalah pemberian dari para ahli
sejarah, ini dikarenakan tidak adanya bukti atau prasasti yang menyebutkan nama
dari kerajaan itu. Berbagai sumber, khususnya berita dari Cina yang menyebutkan
Kho-Thay, kata “Kho” yang berarti kerajaan, sedangkan kata “Thay” berarti besar, yang pada akhirnya dinamakan Kutai, yang
berarti kerajaan besar. Ada juga sumber yang berasal dari berita India yang
menyebutkan istilah Quetaire yang
berarti hutan belantara. Selain berita atau pendapat dari luar negeri, kitab
Negarakrtagama juga menyinggung istilah Kutai dengan menyebutkan istilah Tunyung Kute atau dapat ditafsirkan
dengan “Tunjung Kutai”. Kerajaan ini
telah berkuasa dan menjalankan pemerintahannya pada abad ke-4 atau awal abad
ke-5 masehi.
Kerajaan
ini didirikan oleh Maharaja Sri Kundungga (ada yang menyebut dengan Kundunga
atau Kudunga) di tempuran sungai Mahakam dan sungai Kedung Rantau, Muara Kaman,
Kalimantan Timur pada seputar tahun 350 M. Selama dia berkuasa, yaitu sekitar
tahun 350-375 M, Maharaja Sri Kundungga didampingi permaisuri yang bernama Sri
Gamboh (Mahadewi Gabok). Mereka memiliki 5 orang puteri, yakni Puteri Karang
Kelungsu, Puteri Ragel Mayang, Puteri Ragel Kemuning, Puteri Mayang Sari dan
Puteri Sri Gari (Mahadewi Sri Gari).
Setelah
mundurnya Maharaja Kundungga dari tahtanya, dia digantikan oleh Sri Aswawarman
yang menikahi Puteri Sri Gari, jadi Sri Aswawarman sebenarnya adalah
menantunya. Setelah naik tahta menjadi raja kedua Kutai Martapura, Maharaja
Aswawarman memliki 3 orang putra, yakni :
1.
Wamsaragen atau lebih dikenal dengan nama
Maharaja Sri Mulawarman Nala Dewa, sebagai putra mahkota yang kelak menjadi
raja Kutai Martapura.
2.
Wamsejenjat atau Maharaja Dijayawarman yang
kelak menjadi raja di Campa (Kamboja). Wamsejenjat kelak melahirkan Dapunta
Hiyang (Raja Sriwijaya) dan Darma Setu.
3.
Wamseteku atau Maharaja Gurnawarman yang kelak
melahirkan Maharaja Purnawarman (Raja Tarumanagara).
Gambar 1.2 |
Gambar 1.3 |
Gambar 1.4 |
Gambar 1.1
Bukti yang menunjukkan berdirinya
kerajaan kutai martapura antara lain:
Sampai kini prasasti tertua di Indonesia
teridentifikasi berasal dari abad ke-5 Masehi, yaitu prasasti Yupa dari
kerajaan Kutai, Kalimantan Timur. Pada tahun 1879 ditemukan beberapa buah
prasasti yang dipahatkan pada tiang batu. Tiang batu itu disebut Yupa,
yaitu nama yang disebutkan pada prasasti-prasastinya sendiri. Sampai saat ini
telah ditemukan tujuh buah Yupa, dan
masih ada kemungkinan Yupa yang lain
belum ditemukan.
Prasasti-prasasti yang ditemukan di Kalimantan Timur
itu mula-mula ditemukan hanya empat buah, kemudian tiga buah yang lainnya
ditemukan. Menurut Kern, huruf yang digunakan adalah huruf palawa dengan bahasa
sansekerta. Semuanya dikelurkan atas titah (perintah) seorang penguasa daerah
itu pada masa tersebut, yang bernama Mulawarman, yang dapat dipastikan bahwa Ia
adalah seorang Indonesia asli, karena kakeknya masih mempergunkan nama
Indonesia asli, Kundunga.
Bukti
Maharaja Aswawarman adalah ayah dari Maharaja Mulawarman adalah tulisan
prasasti yupa yang berbahasa sansekerta yang dikutip dari buku sejarah nasional
Indonesia : Crimatah cri-narendrasya;
kundungasya mahatmanah; putro svavarmmo vikhyatah; vancakartta yathancuman;
tasya putra mahatmanah; trayas traya ivagnayah; tesan trayanam pravarah;
tapo-bala-damanvitah; cri mulavarmma rajendro; yastva bahusuvarnnakam; tasya
yajnasya yupo yam; dvijendrais samprakalpitah (Soejdono, 2010:36).
Yang
artinya :
Sang
Maharaja Kundungga yang amat mulia memiliki putra mashur Sang Aswawarman, yang
menyerupai Angsuman (dewa matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat mulia.
Sang Aswawarman memiliki tiga putra, seperti api (yang suci).yang terkemuka
dari ketiga putra itu adalah Sang Mulawarman, raja yang berperadaban baik,
kuat, dan kuasa. Sang Mulawarman telah mengadakan kenduri emas-amat banyak.
Untuk peringatan kenduri itulah, tugu batu ini didirikan oleh para Brahmana.
Kehidupan Ekonomi Kerajaan Kutai pada masa Mulawarman
Kehidupan
ekonomi di Kerajaan Kutai dapat diketahui dari dua hal berikut ini :
1. Kerajaan
Kutai berada pada jalur perdagangan antara Cina dan India. Kerajaan Kutai
menjadi tempat yang menarik untuk disinggahi para pedagang. Hal tersebut
memperlihatkan bahwa kegiatan perdagangan telah menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat Kutai, disamping pertanian baik
sawah maupun ladang, merupakan mata pencaharian utama masyarakat Kutai.
Melihat letaknya di sekitar Sungai Mahakam sebagai jalur transportasi laut,
diperkirakan perdagangan masyarakat Kutai berjalan cukup ramai.
2.
Kehidupan ekonomi masyarakat kutai
juga dapat dilihat dari salah satu prasati Kutai, yang bertuliskan :
Transkripsi:
srimato nrpamukhyasya
rajnah sri-mulawarmmanah
danam punyatame ksetre
yad dattam vaprakesvare
dvijatibhyo‟ gnikalpebhyah.
vinsatir ggosahasrikam
tansya punyasya yupo „yam
krto viprair ihagataih.
Terjemahan:
Sang Mulawarman, raja yang mulia dan
terkemuka,
telah memberi sedekah 20.000
ekor sapi kepada para
brahmana yang seperti api,
(bertempat) di dalam tanah
yang suci (bernama) Waprakeswara.
Buat (peringatan)
akan kebaikan budi sang raja itu, tugu ini telah dibuat oleh para
Brahmana yang datang ke tempat ini
Keberadaan 20.000 ekor lembu yang
dipersembahkan oleh Raja Mulawarman kepada paa brahmana telah menunjukkan
adanya usaha peternakan yang dilakukan oleh masyarakat kutai.
Kehidupan Sosial
Kerajaan Kutai pada masa Mulawarman
Dari semua
prasati yupa, hampir tidak ada kemungkinan untuk mengungkapkan bagaimana
kira-kira kehidupan kemasyarakatan pada zaman kerajaan Kutai kuno. Hal ini
disebabkan prasati-prasasti itu boleh dikatakan tidak sedikit pun berbicara
tentang masyarakatnya. Ini tidak berarti bahwa kita sama sekali tidak dapat
membayangkan bagaimana keadaan masyarakat pada masa itu. Ditulisnya prasasti-prasasti
Mulawarman dengan menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa, merupakan
petunjuk bagi kita untuk menduga bagaimana keadaan masyarakat pada waktu itu.
Walaupun tidak jelas, dapat dipastikan bahwa ketika itu sudah ada sebagian
penduduk Kutai kuno yang hidup dalam suasana peradaban India. Mengingat bahwa
Sansekerta pada dasarnya bukanlah bahasa rakyat India sehari-hari, melainkan
bahasa resmi untuk masalah-masalah keagamaan, dapat disimpulkan bahwa ketika
itu di Kutai kuno sudah ada golongan masyarakat yang menguasai bahasa
Sansekerta. Ini berarti bahwa kaum brahmana pada masa itu merupakan suatu
golongan tersendiri dalam masyarakat Kutai kuno.
Golongan lainnya adalah kaum
ksatria, yang terdiri dari kaum kerabat Mulawarman. Golongan ini sampai pada
masa tersebut rupanya masih terbatas kepada orang-orang yang sangat erat
hubungannya dengan raja saja. Di luar kedua golongan yang secara resmi hidup
dalam suasana peradaban India itu, masih terdapat golongan lain yang boleh
dikatakan berada di luar pengaruh India. Mereka adalah rakyat Kutai kuno pada
umumnya, yang terdiri dari penduduk setempat, dan masih memegang teguh agama
asli leluhur mereka. Barangkali di samping mereka yang terdiri penduduk asli,
juga terdapat kaum brahmana yang berasal dari India, yang bagaimanapun juga,
tentu telah turut memegang peran yang cukup penting dalam usaha penghinduan
keluarga raja Mulawarman. Masih menjadi pertanyaan apakah upacara yang
disebutkan di dalam prasasti dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di
India. Namun, jika dilihat jenis-jenis benda yang dihadiahkan raja kepada kaum
brahmana, seperti lembu, minyak (menurut Chhabra: biji wijen), dan lampu dapat
diperkirakan bahwa upacara dilakukan berpedoman pada aturan-aturan dari India.
Akan tetapi, sejauh mana aturan itu ditaati, termasuk penggunaan musik untuk
mengiringi upacara, belum dapat dipastikan karena sedikitnya data.
Kehidupan
Agama Kerajaan Kutai pada masa Mulawarman
Berlainan dengan kehidupan
sosialnya, kita lebih banyak mengetahui tentang kehidupan keagamaan pada masa
Mulawarman. Hal ini disebabkan semua prasasti yang telah ditemukan sampai saat
ini membicarakan upacara selamatan dalam memperingati salah satu kebaikan atau
pekerjaan yang dilakukan oleh Mulawarman. Disebutkannya nama Angsuman, yaitu
sebutan dewa matahari dalam agama Hindu, memberikan kepastian kepada kita bahwa
setidak-tidaknya Mulawarman adalah penganut agama Hindu. Petunjuk ke arah ini
lebih jelas lagi karena dalam prasasti yang lain disebutkan upacara sedekah
yang dilakukan oleh Mulawarman bertempat di waprakeswara,
sebidang tanah yang dianggap suci. Dalam upacara tersebut telah dihadiahkan
sebanyak 20.000 ekor sapi untuk para brahmana, sehingga untuk memperingati
kejadian tersebut para brahmana merasa bahwa sudah pada tempatnya jika mereka
dirikan sebuah yupa.
Waprakeswara adalah suatu
tempat suci untuk mengadakan persajian, disebutkan dalam 2 prasasti diantara 7
prasasti yupa. Menurut Krom, waprakeswara berasal dari kata vapra/vapraka yang
berarti pagar. Jadi, dapat disimpulkan “ waprakeswara adalah suatu tempat yang
berpagar, mungkin semacam punden desa”(Santiko, 1989:2).
Yang menarik adalah penyebutan
raja Mulawarman seperti raja Yudhistira yang mengalahkan raja-raja lain. Masih
menjadi pertanyaan apakah dengan menyebut nama Yudhistira berarti cerita
Mahabharata sudah dikenal secara meluas? Juga apakah disebutkannya Mulawarman
mengalahkan raja-raja lain berarti sudah ada kerajaan lain kecuali kerajaan
Mulawarman? Ataukah yang dimaksud raja-raja lain sebenarnya hanya semacam
kepala suku atau pemimpin suatu kelompok masyarakat?.
Dengan keterangan-keterangan
tersebut dapat dipastikan bahwa agama yang dipeluk oleh Sang Raja Mulawarman
adalah agama syiwa, agama yang kemudian sangat umum di tanah Jawa. Para
brahmana yang disebut di dalam prasasti Sang Mulawarman itu, pastilah brahmana
yang beragama Syiwa. Dari keterangan semua prasasti, dapat diduga bahwa
Mulawarman adalah seorang raja yang sangat baik hubungannya dengan kaum
brahmana. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan pada setiap prasastinya selalu
dikatakan, bahwa yupa-yupa yang
mengagungkan namanya, semuanya didirikan oleh kaum brahmana, sebagai semacam
pernyataan terima kasih atau penghormatan kepada sang raja atas
kebaikan-kebaikannya terhadap mereka.
Dalam sumber lain, disebutkan
bahwa agama Hindu
di Kerajaan Kutai mulai berkembang pada masa pemerintahan Raja Aswawarman.
Agama Hindu yang berkembang adalah Hindu Syiwa sebagai dewa tertinggi. Dewa
Syiwa diyakini sebagai simbol Brahma
yang memiliki kekuatan untuk meleburkan alam semesta. Perkembangan agama Hindu
Syiwa dibuktikan dengan adanya tempat suci yang bernama Waprakeswara yang
digunakan untuk memuja Dewa Syiwa. Di Kerajaan Kutai, agama Hindu Syiwa menjadi
agama resmi, walaupun hanya berkembang di lingkungan istana. Sedangkan, rakyat
Kutai masih menganut kepercayaan
kaharingan. Kaharingan adalah kepercayaan suku
Dayak di Kalimantan, yang menyembah Ranying Hatalla Langit sebagai
pencipta alam semesta.
Daftar Pustaka
Soejono, R.P. 2010. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.
Adji, K.B. 2014. Sejarah Runtuhnya
Kerajaan-Kerajaan di Nusantara. Yogyakarta: Araska.
Raditya, I.N. 2010. Kerajaan Kutai Martapura. (Online)
Diakses
18 september 2014
Ikwan, Al. 2014. Sejarah
Raja-Raja Kerajaan Kutai Martadipura, Abad Ke 4. (Online) http://www.sejarahnusantara.com/kerajaan-hindu-buddha/sejarah-raja-raja-kerajaan-kutai-martadipura-abad-ke-4-10012.htm
Diakses
18 september 2014
Ahira, anne. 2013. Sejarah Kerajaan Kutai Martadipura. (online)
diakses
18 september 2014
fahmi, chaerul. 2011. Kerajaan Kutai (Martapura) Mulawarman. (online)
diakses
18 september 2014
|
Halo gan/min Saya mau tau apa bukti bahwa Aswawarman adalah menantu dari Kudungga bukan anak dari Kudungga? Saya butuh bukti tertulis atau sebagainya
BalasHapus